[CERPEN] Proses

cerpen diyantiblog

Jam di dinding sudah menunjuk pukul sebelas malam. Dentingan alarmnya pun terdengar nyaring. Namun meski waktu tak kasat mata menunjukkan sudah hampir tengah malam, nyatanya aku masih duduk menatap layar laptop yang menyala.

Bahkan samar-samar aku mendengar suara tawa. Pasti berasal dari seberang jalan. Rumah tetangga ku itu memang kerap menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.

Lantas aku berdiri dari kursi duduk yang entah berapa jam telah aku duduki. Tenggorokan ku terasa kering. Bokong ku bahkan terasa kebas.

Kalau sudah bekerja, seringnya aku memang lupa dengan waktu istirahat.

“Belum tidur?”

Pertanyaan yang terlontar dari ruang tengah hampir saja membuat ku jantungan. Wanita paruh baya itu tampak baru menyelesaikan melipat pakaian kering yang di jemur tadi siang.

“Ini mau tidur,” kata ku. “Tapi minum dulu.”

“Istirahatnya jangan malam-malam, Mbak. Besok pagi kan kerja.”

Ibu berjalan meletakkan lipatan pakaian ke kamar depan yang tak ditempati. Aku cukup mengiyakan. Lagi pula, entah berapa kali nasihat itu disampaikan.

Namun tidak ada yang salah juga nasihat yang Ibu sampaikan. Hanya saja ketika usia ku semakin dewasa. Waktu istirahat menjadi ku pangkas akibat merasa kurang dengan waktu yang sebenarnya diberikan. Rasanya butuh penambahan waktu agar lebih dari 24 jam.

“Kalau bisa aku tarik waktu biar lebih panjang, dan itu cuman buat kamu, Qil.”

Candaan rekan kantor teringat lagi ketika aku kembali ke dalam kamar. Aku menghela nafas karena nyatanya pekerjaan ku belum beres seperti yang aku harapkan. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus melanjutkan besok malam. Jadi, ku matikan alat tempur ku itu.

“Lagian jangan serius-serius lah, Qil. Nikmatin masa muda ini.”

Setelah sedikit merapihkan meja kerja. Aku lantas merebahkan tubuh lelah di kasur yang empuk. Terasa sangat nyaman sekali. Sampai-sampai aku memejamkan mata meresapi rasa nyaman yang terasa.

“Kita senang-senang, dibawa enjoy aja.”

Kembali aku mendengar suara tawa yang ramai. Terdengar lebih keras dan lama. Mungkin topik pembicaraan mereka sangat seru sekali hingga memecahkan kesunyian pukul sebelas malam. Harusnya mereka tidur kan? Atau harusnya mereka istirahat di dalam rumah masing-masing. Namun itu menjadi pilihan masing-masing orang yang aku sendiri tidak bisa mengaturnya.

“Tapi senang-senang ku ya kayak gini.”

Kembali percakapan entah berapa minggu yang lalu hadir dalam ingatan. Tampak jelas ketika aku mengatakan itu tanpa melihat teman yang duduk di sampingku. Pada saat jam istirakat kerja memang kita manfaatkan untuk makan di kantin.

“Aduh, nggak banget deh kamu, Qil! Dimana senang-senangnya itu? Kamu kerja aja dobel.”

“Ya mau gimana lagi, kan aku butuh pemasukan lain,” ujar ku pada waktu itu.

“Dan soal senang-senang seperti yang kamu maksud, aku nggak bisa kayak gitu.”

Tidak ada tanggapan ketika aku menyudahi perdebatan. Dina rekan kerja ku hanya diam dan aku pun diam fokus menyantap menu makan siang.

Dan semakin waktu berjalan, semakin terasa cepat pula menuju jam dua belas malam. Suasana sunyi yang semakin larut nyatanya membuat pikiran makin berkabut. Bahkan ketika sorot mata ku menatap langit-langit kamar. Serasa banyak pikiran yang menghantam untuk diingat, hingga menimbulkan banyak keluhan dalam benak.

“Capek.”

Satu kata yang terucap dalam kesunyian kamar. Lantas aku menarik nafas dan menghembuskan dengan pelan. Beberapa saat aku menatap langit-langit kamar lagi. Setelahnya aku menghela nafas kembali.

“Memang capek. Tapi memang jalan ku kayak gini kan?”

Pertanyaan yang ku lontarkan tepat pada lampu kamar yang menyala. Tentu tak akan ada jawaban. Maka dari itu aku membenarkan posisi tidur agar makin nyaman. Aku memposisikan diri sendiri agar lebih nyaman menyambut mimpi.

Meski beberapa orang seusia ku tampak asik dan penuh canda tawa untuk bersenang-senang. Aku memilih untuk menempuh jalan yang sedikit berbeda dengan membawa bekal.

Jalan tersebut agak terjal untuk dilalui. Namun aku cukup bersyukur menikmati proses perjalanannya.

Ketika aku memejamkan mata dengan rasa kantuk yang semakin terasa, suara tawa yang samar masih terdengar. Aku semakin memejamkan mata. Mengabaikan orang-orang seusia ku dengan kesenangan yang melingkupinya.

“Ada resiko kesendirian ketika fokus memperbaiki hidup yang lebih baik. Yang penting Mbak senang menjalani proses yang nggak mudah ini. Jangan dengarin apapun perkataan orang yang meruntuhkan keyakinan baik Mbak.”


----

[22.31 - 29 Maret 2024]


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url