[CERPEN] Bersalah

cerpen diyanti blog
Siang hari yang panas ketika aku menatap luar jendela kaca. Namun meski panas menyengat aku dapat melihat keceriaan di tengah lapangan. Hiruk pikuk di sana dengan canda dan tawa membuat hati ku berdesir ikut merasa senang. Aku lantas tersenyum, kemudian kembali duduk di bangku di bawah jendela kaca.

"Kalau lihat mereka, aku jadi ingat dua orang," kata ku pelan sembari lincah mengetik di keyboard laptop. Kerjaan ku masih banyak bahkan ketika jam istirahat. Terkadang ketika sibuk menjadi sangat sibuk, namun ketika tidak ada kerjaan, benar-benar tidak ada yang bisa dilakukan.

"Rendi, Riko?" tanya seseorang yang berada di depan ku, terkesan hapal.

"Iya," balas ku tanpa menoleh. Kebahagiaan yang sempat aku rasakan ketika melihat candaan anak-anak di lapangan menjadi menguap begitu saja. Kosong dan hampa. Nyatanya rasa bersalah itu masih ku rasakan.

"Sudah mbak, mereka sudah pergi. Do'a in yang terbaik aja buat mereka."

Aku mengangguk dan menghela nafas. Jemari ku berhenti mengetik, sedangkan bola mata dibalik kaca mata yang ku pakai menatap layar dengan cermat. Tugas ku sudah selesai, tinggal print dan beres.

Maka dari itu aku berdiri, mengangkat laptop untuk ku bawa ke ruangan print.

"Aku ngeprint dulu, Va," ucap ku, sekaligus beralasan untuk menyendiri sementara waktu.

"Iya mbak."

Langkah kaki ku seret menuju satu ruangan yang tertulis 'Tata Usaha' di atas pintu. Lantas ku dorong hingga berdecit keras. Namun decitan keras itu tak menghilangkan suara-suara canda anak-anak di lapangan.

Aku langsung meletakkan laptop ke atas meja dan menghubungkannya dengan konektor kabel print. Seraya menunggu proses print, aku menyenderkan punggung di kursi plastik dan mendongakkan kepala ke langit-langit ruangan.

Setidaknya sebulan ini pikiran ku kurang sehat, membuat suasana hati yang harusnya baik-baik saja menjadi tak baik-baik saja.

Riko Prasetya, nama itu terus berputar dan bermain-main di alam pikiran. Tak mau lepas maupun hilang meski aktivitas sedang ku jalankan. Harusnya aku tak begini, tak memikirkan kondisi anak remaja yang telah memutuskan untuk berhenti sekolah satu bulan yang lalu. Ya, harusnya aku tak begini.

[Ko, kamu masih mau sekolah nggak?]

[Masih, Kak.]

[Kalau begitu yang rajin berangkat, guru-guru sudah banyak mengeluh tentang kamu yang jarang berangkat. Memang kenapa kamu sering nggak berangkat sekolah?]

Aku memutuskan untuk membaca deretan pesan singkat di layar ponsel. Lagi-lagi aku membacanya, seperti tak bosan menyakiti diri sendiri dari perasaan bersalah akibat tak bisa membantu sama sekali.

[Ko, kenapa hari ini nggak berangkat lagi?]

[Aku di suruh jemput Bapak, Kak. Tiba-tiba mobil yang dibawa Bapak pecah ban.]

[Tapi kan kamu harus sekolah, Ko.]

[Iya, Kak.]

[Lain kali minta kakak mu aja yang jemput, kamu bisa sekolah.]

[Aku yang suruh jemput jadinya aku yang jemput, Kak.]

Jemari semakin menggulir ke bawah. Membaca-baca lagi deretan pesan yang tak ingin ku hapus. Padahal bunyi mesin print sudah terhenti yang tandanya proses mencetak telah selesai. Namun aku tetap diam dan duduk di kursi plastik. Mengabaikan dokumen print tersebut yang seharusnya segera ku antar ke kantor.

Kini, segenap jiwa dan raga ku kerahkan untuk membaca-baca pesan di layar ponsel. Aku kembali sibuk menyakiti diri sendiri. Hingga pesan bergulir menuju keterangan tanggal 19 Januari 2023 dan aku pun membacanya dengan pelan-pelan.

[Ko, saya cuman mau bilangin supaya kamu berangkat sekolah, kamu sekarang kelas sembilan, cuman nunggu beberapa bulan lagi ujian kelulusan, sebentar itu nggak bakal kerasa. Apa kamu udah nggak niat sekolah lagi, Ko? Sudah nyerah?]

[Aku masih niat sekolah, Kak. Aku mau lulus SMP biar bisa lanjut SMA.]

[Ya kalau begitu mulai besok berangkat, bisa? Bilang sama Bapak sama kakak kamu kalau mau fokus sekolah dulu karena sebentar lagi mau kelulusan.]

[Iya Kak, besok aku berangkat.]

[Benar Ko? Harus tanggung jawab dengan omongan ya, Ko?]

[Iya, makasih Kak, mau bilangin.]

Namun pada kenyataannya, keesokannya, tepat setelah percakapan usai via online. Hari yang ku tunggu tetap tak menemukan remaja laki-laki itu di area sekolah. Riko Prasetya mengingkari janjinya, mengingkari segala konsekuensi omongan yang ia ketikkan melalui pesan online.

Perasaan mengganjal itu masih terasa ada. Bahkan aku menutup mata dan menghela sejenak. Akibat perasaan yang kacau, aku kembali teringat pada peristiwa keluarnya remaja lain yang bernama Rendi Prayoga.

"Saya mau lanjut SMA, Kak."

Kata-kata terakhir sebelum semuanya usai. Sorot matanya sendu, aku meyakininya sebagai ujaran jujur yang disampaikan oleh remaja usia 14 tahun yang dikenal sebagai biang onar. Rendi berkelahi kembali dengan satu temannya, namun tak ada yang percaya dengan ucapan-ucapnnya.

Aku kembali membuka mata dan menatap langit-langit ruangan 'Tata Usaha'. Kembali menghela nafas, lantas ku ambil beberapa kertas yang sudah terprint. Harus segera ku serahkan ke kantor.

Maka segera aku bangun dan menyeretkan kaki ku keluar. Melihat anak-anak SMP yang tumbuh dengan semestinya membuat ku merasa senang. Setidaknya meski ada saja masalah yang nantinya hadir di usia mereka, mereka masih tetap memiliki keluarga yang utuh dalam kondisi baik. Rendi dan Riko memiliki nasib yang kurang beruntung, tidak seperti teman-teman sebayanya.



[TAMAT - SWD]

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url