[CERPEN] Teman

Cerpen teman

By : Diyanti

Malam hari, gelap dan diiringi dengan gerimis kecil yang terus berjatuhan. Percikan hujan menetes perlahan di kaca jendela kamar. Perlahan-lahan dan terus ku perhatikan hingga berjatuh. Ku perhatikan kembali titik air hujan lainnya di jendela. Pikiran semakin melayang jauh hingga membuat pandangan tak fokus. Aku memejamkan mata, menekan perasaan bimbang dan tak enak yang terasa.

“Ivan besok tunangan,” suara seorang teman merasuki pikiran. Aku kembali terbawa ke sebuah peristiwa tadi pagi saat bertemu dengan teman semasa sekolah.

“Oh, iya aku dengar dari ibu ku.”

“Terus?” pertanyaan itu memancing ku.

“Terus kenapa?”

“Terus kamu mau dateng nggak?” Aku terdiam sempat memikirkan bahwa aku perlu datang memberi selamat atau tidak. Sepersekian detik selanjutnya jawaban telah kudapatkan.

“Datang, sama kamu ya?”

“Okelah.”

Aku membuka mata dan kembali memusatkan pada titik air yang menempel di jendela kamar. Ivan, nama itu menjadi saksi masa kecil yang menyenangkan. Bersama dengan lainnya kami bermain dengan suka cita. Ivan, nama itu juga menjadi saksi bahwa kami tak pernah dekat.

Ivan dan aku dimasa kecil menjadi bahan pasangan orang-orang dewasa, bahkan kami sendiri tak mengerti, juga merasa bingung dan malu. Akibatnya menjadi canggung, tak pernah mengobrol walau bermain bersama. Dan hingga kini, kami seperti orang asing bahkan lebih dari asing karena tak pernah menyapa bahkan saling melihat saat berpapasan pun sangat jarang.

Namun, pernah ku dengar Ivan bertanya kabar ku pada Ibu ketika datang ada perlu.

“Lia nggak di rumah ya Bude? Dia ngekost ya?”

“Iya Lia ngekost, tapi sekarang dia ada di rumah, baru pulang tadi malam.” Ku lihat pada saat itu Ivan mengangguk. Dia tak tau bahwa aku mendengar pembicaraan.

Aku menghela nafas dan membuka mata kembali. Ku tatap kaca jendela yang kian banyak percikan air menempel. Gerimis menjadi deras dan semakin dingin hawa yang terasa. Namun aku tetap mempertahankan posisi berdiri sekarang. Aku masih konsisten berdiri sambil menatapi titik-titik air di jendela. Dan juga masih konsisten memikirkan Ivan.

“Lah itu Ivan di rumah bu, kirain kerja,” kata ku pada saat itu, ketika pulang dua bulan sekali.

“Ya emang kerja, pagi berangkatnya.”

“Sekarang Ivan tinggi ya, dulu sering diejek pendek.”

Kembali menghela nafas saat ingatan mengenai Ivan sekilas-sekilas muncul. Ada perasaan bahwa kami dekat, namun ada perasaan juga bahwa kami adalah orang asing. Kecanggungan serta godaan-godaan di masa kecil membuat kami menjadi asing. Kami adalah teman, teman bermain, teman sekolah, teman sejak kecil dan mungkin saja sejak bayi.

Dan hari esok adalah hari yang membahagiakan untuk Ivan. Sebagai seorang teman harus memberikan selamat. Aku berusaha menekankan ego, berusaha mengenyahkan semua perasaan canggung yang tersisa. Dan meyakinkan diri untuk memperbaiki hubungan yang salah. Kami adalah teman. Tidak ada perasaan aneh-aneh selain kecanggungan akibat masalalu yang kerap kali di goda oleh orang-orang dewasa. Ya, kami adalah teman.

***

“Selamat ya Van,” Sari memberikan selamat dan menjabat tangan Ivan di depan ku.

Kemudian tibalah giliran ku. Aku tersenyum menghadapnya, kemudian menjabat tangannya dengan erat, berusaha menekankan ego yang tinggi.

“Selamat ya Van,” kata ku.

Ivan lebih tinggi dari ku, postur tubuhnya pun lebih segar jika dibanding dulu. Dia memakai kemeja batik rapih dan rambut klimis yang disisir rapih pula. Melihatnya demikian, ada perasaan menyesal. Sangat menyesal karena tak memperbaiki hubungan sejak lama.

“Iya makasih Li, kamu dateng?” dia pun tersenyum dan membalas jabatan tangan dengan erat.

“Iya, sama Sari,” kata ku, kemudian kutatap matanya. “Tapi nggak bawa kado, soalnya tau mendadak, jadi ngucapin selamat aja.”

Ivan terkekeh lucu, kemudian menatap dengan jenaka. “Padahal aku tungguin kadonya loh Li.”

Kami pun tertawa bersama, tidak menyangka jika ego ditinggalkan bisa menjadi lebih mengasyikan seperti sekarang. Kecanggungan bertahun-tahun yang menghantui kami akhirnya perlahan terkikis. Inilah hubungan pertemanan yang aku harapkan. Tidak ada kecanggungan, saling melempar candaan dan mengobrol. Inilah hubungan pertemanan yang semestinya.



[Tamat]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url