[CERPEN] Santai sejenak

cerpen
By : Diyanti

Cuaca sekarang bisa dibilang tidak menentu. Saat panas menyengat bisa tiba-tiba hujan deras atau sebaliknya. Bahkan perkiraan cuaca sering kali keliru. Dulu, teknologi itu bisa dipercayai. Namun sekarang tidak lagi harus menjadi patokan untuk merancang kegiatan di luar rumah. Yang ada malah menjadi semakin kesal apabila perkiraannya salah.

“Setelah seratus meter, belok kiri ke Gang Subroto.”

Suara operator google maps membuat ku lebih dongkol. Aku membanting ponsel dengan kesal. Dari balik masker, bibir ku gemelatuk menahan sumpah serapah. Diatas meja tergeletak kotak makanan dengan plastik yang kotor. Pesanannya sudah hancur, aku mengusap dahi ku entah harus berbuat apa sekarang. Terlebih hujan deras melanda disertai angin kencang, hingga beberapa tetasan mengenai ku yang sedang duduk meneduh di teras sebuah minimarket. Siang tadi matahari bersinar menyengat sekali. Dan sekali lagi perkiraan cuaca tidak akurat.

Layar ponsel yang tadi gelap, kemudian menyala memperlihatkan nama Mbak Miya yang memanggil. Aku segera mengangkatnya.

“Kamu lagi dimana Va? Kustomer udah komplain katanya pesanan belum sampe sampe.”

Aku menatap nanar bungkusan pesanan sekali lagi. Lalu menghela nafas berat. “Maaf mbak, ini aku lagi neduh, hujan deras banget dan aku nggak bawa jas hujan.”

“Emang kamu lagi ada dimana?”

“Di daerah universitas Muhammadiyah,” kata ku memperhatikan beberapa orang yang juga meneduh. Hujan semakin deras, bahkan disertai gemuruh petir juga.

“Yaudah kamu tunggu agak reda saja, nanti Mbak yang bilang ke kustomer pesanannya bakal terlambat.”

Suara Mbak Miya lembut menenangkan. Jika aku bisa melihatnya, ekspresi Mbak Miya pun akan memaklumi, namun ketika sekilas melihat pesanan yang hancur, aku merasa tidak enak dan takut, bahkan sangat takut.

“Tapi mbak,” suara ku gemetar gugup. Perih di bagian pergelangan kaki tidak lebih terasa dibanding kegugupan yang semakin melanda.

“Apa Va?”

“Itu,” aku semakin gugup. Mencoba untuk menenangkan degupan jantung yang kian berdetak kencang dan semakin kencang. Aku menghela nafas. Namun bukannya berhenti gugup malah semakin gugup. Jika Mbak Miya memecat ku bagaimana?

“Pesanannya rusak,” ucap ku semakin pelan.

“Apa Va? Nggak jelas.” Mbak Miya berkata lebih keras.

Aku mendadak semakin gugup jika suatu hal yang ku takutkan terjadi. Jika pun harus berbohong itu tidak akan menyelesaikan masalah pesanan yang rusak. Aku kembali menghirup udara dingin, mencoba menguatkan diri sendiri.

“Pesanannya rusak Mbak, tadi saya jatuh waktu mau neduh.”

Beberapa detik Mbak Miya nggak menyahut membuat jantung ku kian menggila.

“Kamunya gimana?”

“Keadaan kamu?” lanjut Mbak Miya yang membuat ku tertegun tidak menyangka.

“Saya baik-baik saja Mbak, cuma lecet di bagian kaki. Tapi pesanannya yang rusak.”

Hembusan nafas terdengar, kemudian Mbak Miya kembali berbicara. “Nggak apa-apa Va, nanti saya yang bilang sama kustomernya. Abis hujan reda, kamu balik aja kesini ya Va?”

Aku mengangguk lesu mendengarnya.  “Iya Mbak. Maaf ya Mbak.”

---

Segelas teh panas yang asapnya masih mengepul tersaji di atas meja kaca bulat. Aku duduk di kursi rotan satunya dan Mbak Miya duduk di kursi rotan depan ku.

Setelah reda hampir satu jam, aku segera putar arah kembali ke tempat kerja. Mbak Miya menyambut, dengan lembut dan terkesan ramah ia menyajikan teh panas yang jarang ku nikmati hampir dua minggu ini.

“Beneran itu lukanya udah diobatin?”

Aku mangangguk kaku. Perasaan takut masih hinggap hingga kini. “Tadi udah dibersihin pakai alkohol, Mbak.”

“Kok bisa jatuh Va?”

“Jalanan licin, awalnya saya ngebut dan mendadak minggir ke minimarket itu, karena faktor ban motor juga jadi saya jatuh.”

Mbak Miya mengangguk memahami. “Lain kali hati-hati,” katanya penuh perhatian. “Tadi saya juga sudah bicara sama kustomernya. Sekarang sudah selesai permasalahan.”

“Emm...” aku bergumam gugup. Jantung ku berdetak keras dan semakin cepat seolah terpacu. “Respon kustomernya, gimana Mbak?”

“Yah begitu.” Mbak Miya menyenderkan punggungnya di kursi rotan. Sedangkan asap masih mengepul yang berasal dari segelas teh di atas meja, diantara aku dan Mbak Miya. “Sedikit ada drama, mungkin bakal ada adegan penurunan rating, tapi itu sudah biasa Va, kamu nggak usah takut, santai saja.”

“Maafin saya Mbak,” sesal dan takut ku luar biasa.

Mbak Miya menampilkan senyum seorang mamah muda yang sabar dan pengertian. Kemudian ia kembali berkata. “Udah, nggak apa-apa. Lagipula Va, kita seminggu dapat orderan banyak, kamu sibuk mengantarkan pesanan dan mungkin sampai lupa istirahat. Jadi, besok nggak usah kerja dulu ya?”

“Sa—saya dipecat Mbak?” jantung ku serasa ingin meledak.

Mbak Miya tertawa ringan, menggeleng-gelengkan kepalanya memperhatikan ku yang sudah pias mati kutu. “Kamu ini terlalu gugup Va, jadi yang bisa kamu tangkap cuma kalimat akhirnya doang,” ia berusaha menghentikan tawanya. “Maksudnya, saya liburkan kamu besok. Dan besoknya kerja seperti semula.”

“Ingat Va, orang yang bekerja keras butuh istirhat untuk memulihkan staminanya kembali. Hanya karena mengejar uang banyak orang yang melupakan istirahat dan memaksakan diri mereka untuk selalu bekerja keras. Bukannya bagus malah jadi nggak bagus, contohnya seperti kejadian kamu. Mungkin karena faktor lelah juga jadi kosentrasi dan fokus mu menurun. Sekarang inilah waktunya kamu istirahat sejenak dari rutinitas yang menguras tenaga.”

Mbak Miya kemudian berdiri dari duduknya. “Sekarang kamu istirahat aja sebentar disini, minum tehnya sampai habis dan senderkan punggungnya. Nikmati waktu santai barang sebentar saja.”

Aku menghembuskan nafas panjang yang tadi terasa berat. Ku lihat segelas teh yang mulai mendingin. Lalu memejamkan mata sejenak sambil menyenderkan punggung di kursi rotan. Kapan terakhir aku bisa menikmati waktu santai?

Entah, akupun tidak ingat. Rutinitas pekerjaan membuat lelah dan stres. Karena aku terlalu mengejar uang sampai lupa untuk istrirahat dan menikmati waktu santai. Padahal hanya meminum teh hangat, lalu menyenderkan punggung di kursi, sedikit bisa mengusir rasa lelah. Benar apa kata Mbak Miya, nikmati waktu santai barang sebentar saja. Dan ternyata, aku terlalu memaksakan diri.


---

Next Post Previous Post
2 Comments
  • Kyndaerim
    Kyndaerim 14 Oktober 2020 pukul 10.59

    MasyaAllah, mbak Miya baik dan sabar banget :')

    • Rita
      Rita 14 Oktober 2020 pukul 20.55

      Hehe Mbak Miya tipikal bos yang baik hati😍

Add Comment
comment url