[CERPEN] Bimbang


Orang-orang silih berganti datang ke sebuah rumah yang semakin ramai. Malam semakin menjelang, kini jam sudah pukul sepuluh malam. Dinginnya malam membuat sebagian orang membungkus tubuhnya dengan pakaian yang lebih tebal. Semua terkejut dengan berita yang disiarkan lewat microfon mushola beberapa menit yang lalu. Orang yang terhormat telah meninggal dunia.

“Ninda.. kabarin Ninda, ayahnya sudah meninggal.” Seseorang menyuruh dengan suara pelan, entah dengan siapa. Semua orang masih dalam suasana duka, tak bisa berpikir untuk memberikan kabar ke orang luar yang entah dimana keberadaannya.

Ninda. Nama itu langsung menjadi perbincangan masyarakat yang datang. Desas desus tak enak semakin menyebar ditengah-tengah suasana duka. Ada yang mengatakan bahwa Ninda adalah anak yang sudah diusir keluar dari rumah setahun silam. Lalu ada juga yang mengatakan betapa kasihannya Ninda, yang sekarang entah keberadaannya dimana dan tak tau jika ayahnya sudah meninggal dunia.

“Aku akan kabarin Ninda.” Seorang anak muda membantu. Ia segera keluar dari kerumunan keluarga yang sedang berduka. Mencari tempat yang hanya ada dirinya sendiri, lalu segera menghubungi nomor yang lama tersimpan di kontak ponsel.

“Halo..” suara diseberang sana terdengar setelah dua panggilan tak dijawab.

“Halo Ninda, ini Dani.”

“Dani?”

“Iya, Dani temen mu di kampung.”

“Oh Dani.. apa kabar mu Dan?” suara itu terdengar ceria. Ia belum tau bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Dan orang-orang sedang membicarakan keberadaannya yang merupakan sebagai salah satu anak yang harusnya berada disamping jenazah sang ayah, membacakan tahlil bersama dengan saudara maupun ibunya. Atau berada disamping jenazah ayahnya, sedang menangis sambil memeluk keluarganya yang lain.

“Ada kabar duka.” Dani memilih tak menjawab pertanyaan Ninda. “Ayah mu meninggal dunia malam hari ini.”

Sunyi, tak ada respon hingga lima menit berlalu, suara isak tangis yang dikira Dani akan terdengar pun juga tak ada. Ninda diam bagai patung yang baru saja mendapatkan kutukan. Jantungnya berdegup kencang, ingin meledak saat itu juga. Namun sakit hati itu lebih menempel dari apapun, seolah berita yang baru ia dengar tak berpengaruh apapun padanya.

“Nin?” panggil Dani.

“Ya.”

“Kamu dimana sekarang? Nggak pulang?”

Tak ada respon lagi. Ninda memilih diam, sejujurnya pun ia bingung. Kenangan pahit setahun silam menghantui pikirannya hingga kini. Luka itu masih ada, bagai duri yang menancap dan tak bisa dicabut lagi. Tak ada orang yang mengerti, keluarga yang merupakan orang terdekat pun dulu menghina dan meremehkannya.

“Nin, bagaimana pun beliau ayah mu,” pelan, Dani tak ingin ikut campur, ia hanya ingin menyampaikan apa yang menjadi tugasnya. Untuk memberikan kabar Ninda yang entah keberadaannya dimana sekarang.

“Semua orang menunggu kamu Nin.”

“Nggak ada yang menunggu, aku siapa? Keberadaan ku sudah nggak penting lagi bagi mereka.”

Lalu, sambungan itu Ninda matikan dengan sepihak. Ia tak ingin berbicara lagi. Bukan karena egois ataupun durhaka. Di dalam hatinya terdapat perasaan bimbang. Rasa sakit itu masih ada, lalu ada berita duka dari sang ayah yang telah meninggal dunia, bagaimana Ninda harus bersikap. Tak terasa setitik air menetes di mata kirinya. Dalam keadaan diam, air itu menetes semakin deras. Dia seorang diri, menjalani kehidupan yang selalu tak menentu dengan kesendirian. Tak ada dukungan dari keluarga, bahkan keluarga yang ia percaya telah mengusirnya. Hidupnya terlunta-lunta setahun silam.

“LEBIH BAIK KAMU PERGI DARI RUMAH INI, KEJAR AMBISI DUNIA MU, JANGAN PERNAH MENGINJAKKAN KAKI KE RUMAH INI LAGI!”

Teriakan sang ayah setahun silam. Bahkan ayah telah menampar pipi kanan Ninda dengan kuat dan sampai membekas merah.

“KAMU BUKAN ANAK KU, PERGI KAMU DARI SINI!”

“JANGAN PERNAH KEMBALI LAGI! KEJAR AMBISI DUNIA MU!”

“ANAK DURHAKA! TAK TAU DIRI! KEJAR AMBISI DUNIA MU!”

Suara-suara itu terngiang, bagaikan kaset yang diputar di DVD. Ninda tak bisa mencegah perasaan yang semakin bimbang. Kata-kata itu seolah mengingatkannya untuk tidak kembali ke rumah. Kata-kata itu seolah mengingatkannya untuk tetap membenci ayahnya. Kata-kata itu seolah pemantik untuk dirinya yang tak perlu berduka akan berita meninggalnya sang ayah. Kata-kata itu, bagaikan sesuatu yang menghalangi. Perih, hati Ninda tak karuan seperti berada di tengah-tengah antara berita meninggal ayahnya dan kata-kata menyakitkan ayahnya. Bimbang.

“Ninda nggak akan pulang,” perkataan Dani yang pelan menghentikan isak tangis di depan jenazah yang tertutupi kain diatas sebuah meja panjang.

“Memang anak durhaka! DIA BUKAN ANAK KAMI!” teriakan sosok sang ibu diiringi dengan tangisan duka membuat suasana semakin riuh. Dua anak gadisnya memeluk dan menenangkan sang ibu yang semakin histeris.

Akibat itu, desas-desus semakin menyebar di kalangan masyarakat yang menyaksikan. Ninda menjadi tokoh utama yang dibicarakan, dan kedua adalah betapa tidak harmonisnya keluarga yang dipandang terhormat di kalangan masyarakat desa. Ninda menjadi sosok durhaka sekaligus sosok yang dijadikan rasa kasihan. Ia tidak berada disana dan namanya menjadi perbincangan oleh seluruh masyarakat desa.

Hingga esok harinya, ketika jenazah disemayamkan ke tempat peristirahatan terakhir. Tetap tak ada sosok yang menjadi perbincangan datang untuk melihat raga sang ayah yang terakhir kalinya. Sang ibu dipeluk oleh dua anak gadisnya yang lain menangis hingga tak mampu berdiri. Hingga bunga ditaburkan, tetap tak terlihat sosok itu.

Ia meneteskan air mata dalam diam, sendiri dan tidak ada yang tau. Di sudut ruangan yang gelap, Ninda bimbang, sedih, sakit hati menjadi satu. Egonya tak pernah bisa mengikhlaskan sakit hati yang ia rasakan. Egonya yang keras tak memperbolehkan ia melihat raga sang ayah untuk terakhir kalinya. Kenyataannya dirinya memang durhaka, tak bisa mengikhlaskan sakit hati yang terpendam, tak bisa melupakan semuanya. Bahkan sekarang, Ninda membenci dirinya sendiri. Ia bagai sosok menjijikkan yang hidup dengan rasa sakit hati. Salahkah ia tak datang ke pemakaman sang ayah? Salahkan ia yang tak bisa melupakan sakit hatinya?

Hanya bisa meneteskan air mata yang bisa Ninda lakukan.

Bimbang.





[TAMAT]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url