[CERPEN] Kisah yang menjadi usai


Cerpen by : Diyanti Blog

Angin malam berhembus kencang di atap sebuah gedung. Di temani dengan cup kopi Leo bersandar di tembok pembatas. Matanya terpejam menikmati hembusan angin yang menyegarkan. Tiba-tiba malam sudah menjelang, padahal belum lama ia bangun tidur dan pergi bekerja. Menghela nafas, Leo pun membuka matanya, lalu membalikkan badan dan menatap jalanan ramai dengan hiasan lampu-lampu yang meneranginya. Ia kemudian menyesap kopi cup yang mulai dingin. Pikirannya sedang dalam keadaan kacau, berputar-putar bagai kaset kusut tentang gadis yang bernama Meli. Sudah satu bulan tidak terdengar kabar, membuatnya berpikir tentang hal apa yang terjadi.

Beberapa menit kemudian, Leo kembali menghela nafas. Ada hal yang hilang dalam dirinya. Mungkin kepercayaan. Dan apa yang ia rasakan kini merupakan bentuk kekecewaan. Kembali menghela nafas, ia menghabiskan sisa kafein dalam cup yang ada dalam genggamannya. Kemudian Leo baru tersadar ketika meliha arloji di tangan kanan, sudah pukul sembilan malam, seharusnya ia sudah keluar dari gedung kantor dan mungkin masih dalam perjalanan pulang. Tidak seharusnya masih berada di atap dan meratapi kegalauan yang melanda. Akan tetapi, Leo tetap mempertahankan posisinya yang menghadap jalanan di bawah. Sambil menumpukan kedua lengannya di tembok pembatas, Leo menikmati semilir angin yang membawa pikirannya berkelana.

"Kita break saja dulu ya?" suara itu mengalun dalam pikiran. Gadis berambut lurus panjang menatapnya dengan pandangan datar, tak biasa karena sorot matanya seharusnya ceria dan antusias.

"Maksudnya?" hanya itu yang Leo bisa ucapkan. Jantungnya berdegup gugup. Gadis mungil di depannya telah menorehkan rasa sakit dan kekecewaan.

"Iya, kita break dulu, kita bisa menjalani hidup masing-masing tanpa aku atau kamu."

Rahang Leo mengeras, hatinya terasa panas seketika pada waktu itu. Hawa dingin yang diciptakan oleh angin malam itu tak sedikit pun terasa di kulit Leo. Dia memandang tajam sosok perempuan yang selalu mengisi hatinya, tanpa bosan dan akan selalu mendapatkan rasa cintanya itu. Bagaiman Leo tidak marah? Meli seolah sedang mempermainkan hubungan mereka yang telah terjalin lima tahun.

"Break? kamu memutuskan hubungan kita yang sudah lama?" Leo berujar dingin.

"Bukan gitu Le maksudnya, kita bisa menjalin hubungan lagi setelah waktu break yang kita sepakati."

"Apa bedanya dengan putus?" sinis Leo. Dia berdecih dan membuang muka, tak bisa memahami dengan jalan pikiran Meli pacarnya.

"Le dengerin aku dulu," Meli menggenggam lengan Leo yang mengepal kuat. Segera Leo menghempaskannya. Ia begitu marah dengan keputusan Meli. Apa bedanya break dengan putus, atau break bisa diartikan sebagai kebosenan dengan pasangan.

"Kita break selama dua bulan aja, nanti kita kembali seperti semula." Meli berujar mencoba meyakinkan sang pasangan. Namun tetap saja, Leo marah dan tidak ingin mendengar. "Le, pliss.." ucap Meli memohon dengan menangkupkan kedua tangan "Kita bisa menjalani hidup masing-masing tanpa komunikasi terlebih dulu, lima tahun Le kita bareng-bareng."

Cipratan air yang Leo rasakan langsung membuyarkan kenangan. Ia menoleh kesamping dan menemukan teman divisi sedang meneguk air mineral. Berdecih dan mengumpat, Leo segera ingin pergi.

"Lagi mikirin kenangan, tapi gue ganggu ya," suara bariton teman devisi sekaligus teman sebangku semasa SMA itu terdengar mencibir. Ia tersenyum miring begitu Leo tak menggubris dan semakin berjalan menjauh.

"CEWEK YANG LO SERING PIKIRIN LAGI BARENG SAMA RAKA TUH, HAHAHA."

Leo sedang tak ingin meladeni sahabat karibnya yang sedang menertawakan dirinya dengan keras. Ia menuruni tangga untuk menuju ruang kerjanya untuk mengambil tas serta dokumen-dokumen yang harus dibawa pulang. Lebih baik untuk pulang dan beristirahat. Sedangkan besok pagi harus kembali dengan rutinitas yang padat.

"Kita makan dulu ya beib?" Suara yang sangat dikenali Leo terdengar. Tepat di depan dirinya dua orang yang sangat akrab saling berkata. Jika orang lain yang melihat mungkin akan salah menyangka. Namun bertahun-tahun Leo mencoba mengerti tapi tetap saja rasa cemburu itu kian tumbuh subur hingga kini.

"Iya, aku laper banget nih."

"Mau makan apa?"

"Terserah kamu aja."

Jika saja Leo adalah cowok penyabar dia akan betah berjalan dibelakang dua orang itu. Apalagi jika tidak ada masalah yang sedang terjadi, Leo dengan senang hati akan nimbrung menyanggah setiap kata yang sedang dibicarakan keduanya. Namun ini bukan waktunya untuk bercanda dan mempercayai jika dua orang tersebut tidak memiliki ikatan hubungan selain sahabat dekat yang selalu Meli ucapkan.

Dengan tidak sabar dan menahan api cemburu, Leo segera menarik lengan Meli yang dibalut jas kantor menuju pintu baseman parkir. Raka terdengar protes dibelakang dan Meli begitu kaget dengan tindakan Leo yang tiba-tiba. Biarlah dokumen dan tas, Andi saja yang bawakan nanti. Setidaknya Leo mengantongi dompet serta kunci mobil miliknya.

"Apaan sih Leo! Jangan narik-narik!" Meli berusaha melepas cekalan namun tak berhasil karena terlalu kuat. Dengan kasar bahkan dirinya didorong masuk kedalam mobil hitam milik Leo yang terparkir.

"Apaan sih kamu! Narik-narik orang sembarangan, kalo aku jatuh gimana!" Meli kembali protes ketika Leo masuk dan duduk dikemudi. Namun Leo tak menanggapi, dia terdiam dengan pandangan lurus ke depan, mengatupkan bibir dan menggenggam setir mobil kuat.

"LE!" bentak Meli.

"Apa!" kini Leo  menoleh ikut berseru, sorot matanya sangat tajam, dia begitu marah, cemburu dan kecewa menjadi satu. "Buat apa kita break? buat kamu yang ingin dekat sama Raka, iya!"

"Kamu kenapa sih! tiba-tiba narik, tiba-tiba marah nggak jelas?"

"Nggak jelas kamu bilang? aku cemburu Mel liat kamu sama Raka."

"Kita sahabat!"

"Sahabat?" Leo berdecih, omong kosong. Dia tau Raka menyukai Meli, dari sorot matanya bahkan semua tau itu. Bahkan Meli dengan sengaja memberikan lampu hijau untuk Raka, walau berdalih dengan menyebut sahabat.

"Le, aku sama Raka itu sahabat doang, nggak lebih. Aku selalu bilang itu dan kamu terus cemburu, aku harus bilang apa lagi? kamu nggak dewasa Le."

Leo semakin mengeratkan tangannya yang menggenggam setir mobil. Mereka masih berada di parkiran, Leo tak segera beranjak karena dia sedang marah. Lalu Meli terus menyulut emosinya.

"Kita sedang  break," ucap Meli mengingatkan.

"Break? buat apa break?" tanya Leo pelan, nadanya getir seolah Meli telah mengecewakan dirinya banyak hal.

"Aku udah bilang waktu itu."

"Omong kosong! Break buat kamu dekat sama Raka! Break karena kamu bosan!"

"Aku nggak bilang gitu!"

"Tapi tindakan mu bilang gitu!"

Meli kini yang membuang muka. Dia lelah dengan perdebatan itu, bahkan dalam hubungan lima tahun, mereka sering kali berdebat dengan hal-hal kecil yang tak perlu didebatkan. Namun akumulasi kelelahan sudah berada di puncak grafik. Meli benar-benar lelah, baik dengan hubungan maupun dengan Leo.

"Raka emang benar, kamu nggak dewasa. Kita putus!" ucapnya, dan kemudian pergi meninggalkan Leo sendiri yang amat sangat marah.

"Lo sama Meli buat apa? lo tau Raka suka sama Meli dan Meli lebih sering milih Raka ketimbang elo, buat apa Le? lo nyakitin diri sendiri selama bertahun-tahun."

"Dan sekarang break? dua pasangan yang saling mencintai nggak akan ngambil tindakan seperti kalian. Bahkan semua orang tau break sama aja artinya bosan."

"Lo itu bego Le, dikelabui sama yang namanya cinta."

Ucapan-ucapan sahabatnya, Andi dimasa lalu terus terngiang, bahkan hingga jari-jarinya memutih akibat terlalu kuat menggenggam setir mobil. Kecewa, marah membuatnya frustasi. Bahkan hal yang Leo takutkan terjadi juga sekarang. Kisahnya yang tertulis bertahun-tahun, kini selesai juga. Berawal dari break lalu menjadi usai.

Kisah yang menjadi usai.

Sangat megenaskan.



[TAMAT]
Next Post Previous Post